LINTASNEWS.ONLINE -- Mappacci sebagai simbol akan kebersihan raga dan kesucian jiwa. Dengan demikian pelaksanaan upacara mappacci mengandung makna atau nsimbol akan kebersihan atau kesucian.
Untuk melaksanakan “Mappacci” akan melibatkan pasangan sesepuh sebanyak sembilan pasang.
Dalam bahasa Bugis disebut “Duakkesera” maksudnya Sembilan orang dari keluarga ayah, sudah termasuk ayah sendiri, dan sembilan dari keluarga ibu termasuk ibu sendiri. Adapun yang lainnya, tidak termasuk dalam “Duakkasera” kesembilan pasang dari sepupu, diharapkan dapat menitiskan atau mewariskan suri tauladan dan nasib baiknya kepada calon mempelai.
Selain “Duakkasera” biasa juga sebanyak “duappitu”. Maksudnya tujuh dari ayah dan tujuh dari ibu.
Uraian diatas dapat disimpulkan bahwa upacara adat mappacci melibatkan kerabat dan keluarga bertujuan untuk direstui kepada calon mempelai dengan demikian terukir kebahagiaan mendalam bagi calon mempelai dalam menempu kehidupan selanjutnya sebagai suami istri serta mendapatkan keberkahan dari Allah swt.
Dari hasil wawancara yang dihimpun, Mappacci merupakan upacara adat perkawinan yang turun temurun dilakukan oleh suku bugis dengan tujuan untuk membersihkan atau mensucikan mempelai dari hal-hal yang buruk, dengan keyakinan bahwa segala tujuan yang baik harus didasari oleh niat dan upaya yang baik pula.
Mappacci berasal dari nama daun pacar (pacci) yang dapat di artikan paccing, yaitu berarti bersih, dengan demikian prosesi mappacci mempunyai makna membersihkan (mappaccing) yang dilakukan oleh kedua pihak (laki-laki dan perempuan).
Dahulu di kalangan bangsawan, acara mappacci ini dilaksanakan tiga malam berturut-turut, akan tetapi saat ini acara mappacci dilaksanakan satu malam saja, yaitu sehari sebelum upacara perkawinan.
Konon kabarnya prosesi mappacci hanya dilaksanakan oleh kaum bangsawan dan sekarang umumnya masyarakat bugis melaksanakan prosesi mappacci ini.
Ada beberapa unsur lain yang harus disediakan seperti lilin yang menyala, beras yang digoreng kering, bantal, 7 lembar sarung, daun pisang, daun nangka, gula merah dan kelapa dan tempat daun pacci (daun inai).
Masing-masing unsur tak hanya berperan sebagai pelengkap, namun juga memiliki makna filosofi yang mendalam.
Lilin menjadi simbol penerangan, beras (benno) memberi makna agar kelak kedua mempelai akan berkembang dengan baik, bersih dan jujur. Sedangkan bantal menyimbolkan kemakmuran, sarung sutera atau lipa berlapis 7 dipakai sebagai penutup tubuh untuk menjaga harga diri seorang manusia.
Tidak hanya daun inai, daun nangka dan daun pisang juga memiliki arti khusus. Daun pisang (leko) mempunyai siklus hidup dimana daun muda akan muncul sebelum daun tua kering lau jatuh.
Kurang lebih filosofi yang dapat dipetik dari siklus pertumbuhan daun pisang hampir mirip dengan apa yang terjadi dalam kehidupan manusia yang sambung menyambung tanpa pernah putus.
Daun nangka atau disebut juga daun panasa mengandung arti cita-cita luhur, dan tempat menaruh pacci yang dalam bahasa bugis disebut appaccingeng, menyimpan arti kesatuan jiwa atau kerukunan hidup dalam berumah tangga.
Semua perlengkapan itu semua disiapkan dan ditata dalam ruang tempat melangsungkan prosesi mappacci.
Selanjutnya prosesi mappacci pun dimulai, calon mempelai duduk dipelaminan (laming) atau diatas tempat tidur, mengahadap 7 lapis sarung sutera yang diatasnya telah diletakkan beberapa helai daun nangka.
Kemudian mempelai meletakkan kedua tangan diatas 7 lapis sarung, posisi telapak tangan berada diatas menegadah siap untuk diberi pacci. Satu persatu tamu yang telah dipilih dan sudah berkeluarga maju untuk memberikan pacci.
Oleh tamu tersebut pacci di oleskan ketelapak tangan untuk membersihkan dan menyucikan calon dari hal-hal buruk. Acara lalu dilanjutkan dengan penaburan beras.
Salah satu prosesi yang bertujuan menyucikan adalah mappacci. Sebuah ritual yag biasa dijalankan oleh masyarakat bugis dalam rangkaian prosesi pernikahan bagi masyarakat bugis yang mayoritas memeluk agama islam, pernikahan menjadi satu perjalanan baru yang harus dilewati oleh jiwa yang bersih.
Melalui ritual mappacci yang umumnya dilakukan sehari sebelum pernikahan, jiwa yang mungkin sempat ternoda dibersihkan terlebih dahulu.
Proses ini dilakukan oleh kedua calon mempelai dikediaman masing-masing dengan dihadiri kerabat dekat. Mappaccing berasal dari kata paccing yang berarti bersih, mappaccing artinya membersihkan diri.
Upacara ini secara simbolik menggunakan daun pacci (pacar) karena acara ini dilaksanakan pada malam hari maka dalam bahasa bugis disebut “wenni mappacci” melaksanakan upacara mappaci akad nikah berarti calon mempelai telah siap dengan hati yang suci bersih serta ikhlas
untuk memasuki alam rumah tangga dengan membersihkan segalanya termasuk, mappaccing ati (bersih hati), mappaccing nawa-nawa (bersih fikiran), mappaccing pangkaukeng (bersih baik tindak laku/perbuatan), mappaccing ateka (bersih itikat).
Orang-orang yang diminta untuk meletakkan daun pacci pada calon mempelai biasanya adalah orang-orang yang punya kedudukan sosial yang baik serta punya kehidupan rumah tangga yang bahagia.
Semua ini mengandung makna agar calon mempelai kelak dikemudian hari dapat pula hidup bahagia seperti mereka yang telah meletakkan daun pacci itu ditangannya.
Mappacci merupakan suatu acara adat sebagai salah satu rangkaian pelaksanaan pesta pernikahan yang mengungkapkan pengertian pensucian diri, sekaligus sebagai wahana pewarisan nilai-nilai kesucian bagi sang pengantin.
Dalam lontara bugis disebut bahwa “naiya mappaccei iyanaritu riasene puasennge tau” yang dalam bahasa berarti adat yang telah dilaksanakan secara turun temurun oleh kaum priyayi terdahulu. Keturunan bangsawan sebelum acara mappacci atau tudampenni dilaksanakan, pada sore harinya keluarga kedua calon mempelai melaksanakan kegiatan yang disebut malekke pacci (pengambilan daun pacci/pacar).
Calon pengantin mempelai tersebut adalah keturunan bangsawan, maka tempat malekke pacci dilakukan dirumah raja atau pemangku adat.
Apabila calon mempelai berasal dari keturunan bangsawan maka yang melakukan malekke pacci (pengambilan daun pacci) adalah keluarga yang terdiri atas pria atau wanita, tua, muda, dengan pakaian adat lengkap. (*)