LINTASNEWS.ONLINE, MAKASSAR -- Politik uang merupakan isu paling populer sepanjang pilkada di Indonesia, betapa tidak money politik adalah salah satu diantara tiga penyakit yang menjalar dalam kancah perpolitikan tanah air. Dua penyakit lainnya yaitu politik kekerasan dan politik yang tidak mencerdaskan.
Demokrasi yang ideal telah direduksi menjadi transaksi jual-beli tanpa mempertimbangkan nilai-nilai moral dan etika kemasyarakatan, tidak ada bedanya dengan transaksi jual-beli di pasar tradisional.
Kehadiran money politik telah menghancurkan sistem demokrasi dan menciptakan sistem politik semakin mahal. Pertarungan di pemilihan kepala daerah (pilkada) adalah arenanya, salah satu mesin politik yang paling ampuh yaitu satu barang yang disebut uang, meskipun secara natural kebutuhan akan uang itu sendiri diperlukan dalam politik.
Hal ini sudah menjadi rahasia umum bahwa money politik menjadi manuver utama. Berbagai kajian intelektual dan teoritis, politik uang semacam ini merupakan bagian dari mata rantai lingkaran setan dalam bentuk korupsi di Indonesia dan tidak kalah berkembang dan dinamis trend di daerah.
Mirisnya jikalau yang mencuat adalah politik uang dikemas dalam bentuk bantuan atau sedekah. Pilkada Kota Makassar contohnya, baru-baru ini diberitakan pada Jumat (27/11/20) lalu, adanya temuan bantuan sosial dari Kementerian Sosial RI (Kemensos) yang disalah gunakan oleh oknum tertentu untuk kepentingan memenangkan salah satu paslon.
Hal tersebut dibenarkan oleh warga Kelurahan Timungan Lompoa Kecamatan Bontoala. Warga mengaku terkejut karena bansos yang seharusnya diperuntukkan untuk warga tidak mampu, justru dimanfaatkan oknum untuk menggalang dukungan ke salah satu paslon tertentu. Ironisnya, warga setempat mendapat adanya tekanan dari oknum tersebut untuk memperoleh bantuan, bahwa jika ingin menerima maka harus mendukung atau memilih paslon yang ditentukan.
Kejadian tersebut menuai kritik dari Institut Kausa Demokrasi Indonesia (IKDI).
Pengurus IKDI, Faisal Takwin mengatakan bahwa manuver politik uang semacam itu tentunya sangat merusak demokrasi.
Demokrasi mengalami disfungsi asas dikarenakan praktik money politik. Manuver politik uang semacam itu jelas merusak tatanan demokrasi kita.
Apalagi ketika politik uang dikemas dalam bentuk bantuan atau memanfaatkan bantuan sosial untuk menggalang dukungan ke paslon tertentu.
"Tentunya bisa dipastikan bahwa ada oknum aparat pemerintahan yang bermain, sehingga penegak hukum harus mengusut tuntas kejadian tersebut,” tegas Faisal.
Lebih lanjut, pengurus IKDI tersebut mengatakan praktik ini biasanya dilakukan karena para calon memanfaatkan kondisi ekonomi rakyat.
Ia pun meminta praktik-praktik seperti ini dihindari oleh para peserta pilkada demi kualitas demokrasi yang lebih baik.
“Memang masyarakat ada yang tidak mampu, masih menghadapi kemiskinan dan sebagainya, tapi jangan lah kesengsaraan masyarakat itu dieksploitasi dengan uang receh. Tolong ini ditegakkan juga,” tutupnya. (red)