Iklan


 

Fery Sirajuddin
Selasa, 30 Agustus 2022, 23:29 WIB
Last Updated 2022-08-30T15:29:13Z
DAERAH

Dr Rasminto: Reformasi Berkelanjutan, Upaya Pemulihan Citra Polri

 


LINTASNEWS.ONLINE,MAKASSAR--Reformasi Polri bukan sekedar berada pada ruang hampa, dia adalah bagian dari sejarah gelombang krisis multi dimensi yang dimulai dari tahun 1997 dan terakumulasikan dalam gerakan reformasi 1998. Reformasi pada dasarnya merupakan suatu gerakan moral dan kultural (moral and cultural movements) untuk menegakkan kembali prinsip-prinsip negara hukum menurut UUD 1945 dengan menempatkan hukum sebagai sesuatu yang supreme dalam kehidupan bersama. Proses reformasi tersebut kemudian membuka ruang baru bagi dinamika relasi perilaku elit masyarakat dan proses transisi perubahan sistem kelembagaan negara. Mandat reformasi menghendaki terciptanya sistem pemerintahan yang demokratis dan menjunjung tinggi hak asasi manusia (HAM) serta menempatkan militer murni sebagai alat pertahanan negara yang tunduk pada supremasi sipil. Adanya kedua institusi Tentara dan Polisi di negeri ini diharapkan menjadi institusi yang profesional dan mandiri dalam mengemban tugas Negara. Namun, reformasi 1998 ternyata seolah menjadi proses lahir cesar bagi institusi Kepolisian dari rahim Angkatan Bersenjata/Tentara, dan sangat menguras energi bangsa ini. Pada era Presiden BJ Habibie, misalnya, terjadi kuasi status quo di tubuh Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) karena terjadi tarik-menarik cukup keras antara Presiden dan Menhankam/Pangab sebagai basis di belakang pemisahan Tentara dan Polisi. 


Urgensi reformasi Polri bukan hanya sekedar perbedaan dalam pelaksanaan tugas semata, dimana Polisi bertugas mengamankan masyarakat dalam menciptakan ketertiban dan keamanan wilayah sipil, karena sejatinya masyarakat bukanlah musuh. Sedangkan mengamankan dan mempertahankan negara dari ancaman musuh atau dapat dikatakan sebagai alat untuk bertempur secara militer ialah tugas dari Tentara Nasional Indonesia (TNI). Menelisisk proses pemisahan Polri dan TNI ialah diawali oleh Instruksi Presiden BJ Habibie nomor 02 tahun 1999 tentang langkah-langkah dalam rangka pemisahan Polri dari ABRI. Dalam Inpres tersebut, diinstruksikan kepada Menteri Pertahanan Keamanan dan atau Panglima ABRI untuk secara bertahap mulai mengambil langkah-langkah seperlunya untuk melakukan reformasi Polri dengan menempatkan sistem dan penyelenggaraan pembinaan kekuatan dan operasional Polri kepada Departemen Pertahanan Keamanan. Jenderal Wiranto sebagai Menhankam sekaligus Panglima ABRI seperti mendapat durian runtuh, dengan meresponnya dalam bentuk mengeluarkan Keputusan Menhankam/Pangab Nomor Kep/05/III/1999 tanggal 31 Maret 1999 tentang pemisahan Polri dari ABRI, bahwa mulai tanggal 1 april 1999 wewenang penyelenggaraan pembinaan Polri dilimpahkan dari Panglima ABRI kepada Menteri Pertahanan Keamanan. Hal ini menjadikan Kuasi reformasi POLRI, karena faktanya secara posisi berada di bawah Kementerian Pertahanan Keamanan. Sehingga, jangan sampai Presiden Jokowi dan Pak Mahfud MD selaku Menkopolhukam melupakan proses panjang pilihan Reformasi kelembagaan yang melahirkan Polri yang sejatinya merupakan agenda gerakan reformasi 98, yang digulirkan sampai sekarang. Oleh sebab itu, reformasi Polri harus dilakukan secara sustainable. 


Berkaca dari kasus pembunuhan berencana dialami Brigadir Novriansyah Yosua Hutabarat, yang dilakukan oleh Irjen Ferdy Sambo selaku pejabat Kadivpropam Mabes Polri, semestinya menjadi momentum sebagai refleksi dan evaluasi, atau bersih-bersih serta menjadi langkah yang tepat bagaimana mendorong penataan organisasi baik secara struktural, instrumental maupun secara kultural bagi Lembaga Kepolisian. Karena, penerapan regulasi bagi Lembaga Kepolisian saat ini terasa hanya sebatas menyentuh aspek instrumental belaka. Sedangkan aspek strukturalnya sangat terbatas, yang menyebabkan tumpang tindih secara aspek fungsional dengan lahirnya kasus, misalnya, adanya Satgasus Merah Putih yang memiliki tugas hampir sama dalam penegakan kejahatan-kejahatan yang sifatnya Siber atau ITE dan tindak kejahatan pencucian uang yang ada dalam kewenangan di Ditipsiber, Diskrimsus baik di tingkat Mabes, maupun tingkat Polda atau tingkat Polres. Lebih jauh lagi dilihat dari aspek kultural, Polri hingga saat ini seolah dalam tahap masih mencari identias jati diri yang sesuai dengan tuntutan reformasi 98 untuk menjadi Polisi Sipil, penegakan hukum yang adil serta perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat secara tulus dan ikhlas sebagai pengabdi masyarakat (public servent). 


Kebijakan reformasi Polri merupakan bagian dari strategi pembangunan nasional. Walaupun pembangunan itu tidak selalu membawa masyarakat pada kondisi yang aman, tentram maupun sejahtera, akan tetapi pembangunan tersebut bersifat kriminogen. Apabila tidak direncanakan secara rasional dengan memperhatikan kondisi riil suatu bangsa akan berdampak pada konflik dan kriminalitas. Aspek nilai kultural yang dimiliki oleh masyarakat Indonesia dalam pembangunan negeri ini, tak cukup sekedar mengejar pertumbuhan semata, yang pada akhirnya berakibat terhambatnya keberlanjutan pembangunan itu sendiri. Dengan adanya sifat kriminogen tersebut, seharusnya pembangunan berkelanjutan yang mendasar dalam aspek kultural dengan konteks kasus Sambo dapat membuktikan jika belum terkikisnya budaya militer dalam organisasi Polri itu sendiri. Maka memang Polri itu harus meredefinisi dirinya sebagai Polisi sipil dengan melakukan demiliterisasi. Buang jauh-jauh sifat-sifat atau karakteristik militeristik yang hanya menunjukkan kekuatan bersenjata yang abai pada proses penegakan hukum itu sendiri. Polri juga harus melihat bagaimana sifat reaksioner terhadap munculnya berbagai usaha membanguan format keamanan nasional yang komprehensif yang secara implisit dalam UU No. 2/2002 tentang Kepolisian RI, dinyatakan jika Polri sebagai pengelola keamanan dalam negeri. Selain itu pula sebagai koordinator dan pengawas dari pegawai negeri sipil dalam konteks pembangunan tentu yang memerlukan tatanan secara sistemik antara Polri dan lembaga non keamanan yang seharusnya dijalankan. 


Seperti juga dalam konteks pemberantasan judi online, tentunya aparat kepolisian atau dalam hal ini para penyidik banyak mengalami kesulitan-kesulitan terkait dengan masalah aturan Perbankan, maka perlu juga secara lembaga di luar non keamanan seperti Perbankan juga harus mereformasi UU Perbankan tersebut. 


Dalam perspektif keamanan, ada pendekatan keamanan hak asasi manusia yang tertuang dalam laporan UNDP (1994) Human Development Report, bahwa konsepsi pembangunan sebagai strategi utama untuk meningkatkan keamanan manusia dilatarbelakangi oleh perpektif yang dikembangkan dalam pembangunan. Dalam konsep ini ada tigal hal yang perlu menjadi perhatian, yakni: pertama, pembangunan itu akan memunculkan suatu ancaman, berupa penolakan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia karena tidak adanya supremasi hukum yang pasti. Ini yang terjadi pada tragedi duren tiga dengan tersangka Irjen Ferdy Sambo, masyarakat merasa ada hal pelanggaran ataupun pelemahan dalam penegakan supremasi hukum, maka inilah yang harus dibangun. Kedua, pembangunan harus memperhatikan masalah kemanusiaan (humanitarian), dimana nyawa itu sangat berharga, dan rasa hormat serta penempatan hak-hak masyarakat secara kemanusiaan harus dijunjung tinggi. Dan, ketiga adalah bagaimana memberikan perluasan konsep keamanan dalam konteks berbagai aspek dari ekonomi, kesehatan, pangan, lingkungan hidup komunitas dan berbagai aspek termasuk juga isu-isu yang sifatnya transnasional, seperti penyelundupan narkotika, terorisme dan juga migran lebih diperhatikan dan diselesaikan. 


Jika kita perhatikan dari perspektif pembangunan di Indonesia pada pemikiran yang sifatnya strukturalis hanya mementingkan upaya untuk menghilangkan sebab-sebab dasar konflik sedangkan persoalan ketidakadilan dan ketimpangan sosial, harusnya lebih dibangun sebagai salah satu solusi klasik yang ditawarkan untuk menghilangkan instabilitas dalam bidang sosial politik di tubuh Polri dan pemerintah. Melihat dari persoalan yang ada tadi perlu diuraikan, karena pembangunan harus berorientasi pada keamanan manusia (human security), dan hal tersebut memiliki multi fase yang perlu mendapat perhatian karena berbagai aspek yang begitu luas dimulai dari keamanan ekonomi, keamanan politik, keamanan polisional, keamanan militer, keamanan hukum dan termasuk keamanan hak-hak asasi manusia sampai dengan keamanan harta milik pribadi seseorang. Berkaitan dengan keamanan manusia ini ada tantangan dimasa depan berkait dengan krisis pangan, krisis energi, krisis ekologis, kemiskinan, tingkat kriminalitas trans nasional dan terorganisi. Itulah yang harus menjadi persoalan komitmen, dan termasuk kemarin Covid-19 juga termasuk masalah yang berkaitan tantangan keamanan manusia dalam bidang bio kimia menjadi orientasi kerja Polri. Konsep bernegara ini dalam praktek pembangunan ini harus dibangun keadilan hukum, pelestarian lingkungan, penyelesaian konflik secara damai, pelarangan kekerasan, demokratisasi dalam bidang ekonomi dan sebagainya perlu dilakukan reformasi Polri, dimana negara Indonesia termasuk yang menganut sistem demokrasi, dan polisi merupakan sebagai salah satu alat Negara yang seharusnya tidak hanya sekedar sebagai penjaga ketertiban dan keamanan masyarakat. Tetapi juga, sebagai pengontrol birokrasi yang berfungsi sebagaimana menjaga keselarasan hubungan antara pemerintah dan warga masyarakatnya. Jadi janganlah Polri dijadikan alat Kekuasaan, apalagi alat politik, karena memiliki fungsinya sebagai pengontrol birokrasi. 


Penekanan utama reformasi Polri harus bertujuan untuk merubah polisi yang militeris, menjadi polisi sipil (civilian police) yang demokratik, profesional dan akuntabel. Ini prosesnya memang berpacu pada pelaksanaan tugas rutin sehari-hari yang menjadi sorotan publik. Sehingga reformasi Polri yang diharapkan bisa merubah citra yang nampak seperti sekarang dengan adanya efek kasus Sambo yang menjadi sorotan publik yang berdampak begitu suram bagi institusi Polri saat ini. Maka, hakikatnya dari citra negatif yang melekat dari Polri, bisa dihapus dengan cara bukan hanya mengejar prestasi dengan mengungkap siapa pelakunya dan siapa-siapa yang terlibat. Akan tetapi, banyak hal lain yang perlu dilakukan oleh institusi Polri, terutama bagaimana juga membangun paradigma peran polisi sendiri dalam sistem keamanan dalam negeri yang didasarkan pada kaidah demokrasi, menghormati hak-hak masyarakat dimuka hukum, dan jangan jadikan senjata dalam mengintimidasi dan mengintervensi masyarakat. 


Kemudian bagaimana mendudukan Polri dalam Pemilu agar menjunjung netralitas dalam proses demokrasi, apalagi menjelang Pemilu serentak di tahun 2024 yang akan datang. Perlu langkah-langkah konkrit, bagi Kapolri untuk melakukan perumusan Peran Polisi dalam pengawasan terhadap sumberdaya nasional maupun secara internal. Jangan sampai terlibat dalam praktek-praktek yang justru menjerumuskan pada citra kepolisian yang semakin suram. Selanjutnya, akuntabilitas publik terhadap bisnis Polri, apalagi isu judi online, (*)