LINTASNEWS.ONLINE, SIDRAP -- Pemilihan umum atau pemilu selalu menjadi momen penting bagi masyarakat Indonesia dalam menentukan pemimpin yang akan memimpin negara dan mempengaruhi kebijakan-kebijakan yang akan diambil selama masa jabatan mereka. Namun, pemilu juga seringkali menjadi ajang kontestasi yang sarat dengan politik uang dan politisasi SARA.
Politik uang adalah praktik memberikan uang atau hadiah dalam bentuk lainnya kepada pemilih untuk mempengaruhi mereka dalam memilih calon tertentu. Praktik ini telah menjadi tren dalam pemilu Indonesia selama beberapa dekade. Meskipun dilarang oleh undang-undang, politik uang masih sering terjadi dalam setiap tahapan pemilu, mulai dari kampanye hingga pemilihan itu sendiri. Banyak calon yang mengeluarkan uang dalam jumlah besar untuk membeli suara pemilih dan memenangkan pemilu.
Politik uang yang terjadi dalam pemilu seringkali menjadi penghambat bagi demokrasi. Praktik ini dapat menghilangkan hak suara warga yang sebenarnya berhak memilih sesuai dengan keyakinannya. Selain itu, praktik ini juga dapat menghambat kemampuan calon yang memiliki kemampuan dan kapasitas yang baik untuk memimpin, karena mereka tidak dapat bersaing dengan calon yang memiliki uang lebih banyak.
Tren politik uang ini kemungkinan besar akan terus berlanjut pada pemilu 2024. Banyak calon yang memiliki kepentingan besar dalam memenangkan pemilu dan bersedia mengeluarkan uang dalam jumlah besar untuk mencapai tujuan tersebut. Oleh karena itu, diperlukan upaya yang lebih kuat dari pihak pemerintah dan lembaga pemilu untuk menekan praktik politik uang ini.
Selain politik uang, politisasi SARA juga merupakan masalah serius dalam pemilu Indonesia. SARA adalah singkatan dari Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan. Politisasi SARA adalah praktik memanfaatkan perbedaan-perbedaan tersebut untuk memperoleh keuntungan politik.
Politik identitas seperti politisasi SARA seringkali mengancam demokrasi, karena dapat memicu konflik dan memecah-belah masyarakat. Sebagai contoh, pemilu 2019 lalu, isu SARA seperti agama dan suku menjadi salah satu isu yang hangat diperdebatkan. Hal ini memicu konflik antar kelompok masyarakat, bahkan beberapa kasus kekerasan terjadi dalam kampanye dan setelah pemilu.
Dalam pemilu 2024, politisasi SARA kemungkinan besar akan terus menjadi tren. Hal ini disebabkan oleh polarisasi masyarakat yang semakin meningkat akibat isu-isu sensitif seperti agama dan suku. Oleh karena itu, diperlukan upaya yang lebih kuat dari pihak pemerintah dan lembaga pemilu untuk menekan praktik politisasi SARA ini.
Upaya untuk menekan politik uang dan politisasi SARA dapat dilakukan dengan cara meningkatkan pengawasan dan penegakan hukum terhadap praktik-praktik tersebut.
Lembaga pemilu seperti Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) harus meningkatkan efektivitas pengawasan terhadap praktik politik uang dan politisasi SARA. Mereka harus mampu mendeteksi dini adanya praktik tersebut dan memberikan sanksi yang tegas kepada pelakunya. Selain itu, pemerintah juga harus meningkatkan edukasi politik kepada masyarakat agar masyarakat lebih cerdas dalam memilih dan tidak mudah terpengaruh oleh politik uang dan politisasi SARA.
Selain itu, partai politik dan calon pemimpin juga memiliki peran penting dalam menekan praktik politik uang dan politisasi SARA. Mereka harus memperjuangkan pilihan politik berdasarkan program dan visi-misi yang jelas dan menarik bagi masyarakat, bukan berdasarkan identitas atau pandangan politik yang sempit. Mereka juga harus berkomitmen untuk menolak praktik politik uang dan politisasi SARA serta memberikan teladan yang baik bagi masyarakat.
Pemilu adalah momen penting bagi demokrasi Indonesia. Namun, praktik politik uang dan politisasi SARA dapat mengancam kualitas demokrasi dan mengurangi legitimasi pemerintahan. Oleh karena itu, diperlukan upaya bersama dari pemerintah, lembaga pemilu, partai politik, dan masyarakat untuk menekan praktik-praktik tersebut dan memastikan bahwa pemilu berjalan secara adil dan demokratis