Oleh :
NURYADI, S.H,MM
Pengawas Pullet
PT Dirga Layer Farm Sidrap
Bulan Agustus adalah simbol perayaan dan kemerdekaan, 78 tahun yang lalu Soekarno dan Hatta telah memprolamasikan kemerdekaan Indonesia dan berhasil keluar dari spiral kekuasaan kolonial. Kemerdekaan tersebut tentunya tidak diperoleh serta merta akan tetapi dengan perjuangan dan pertumpahan darah dari kakek dan nenek moyang bangsa Indonesia sehingga anak dan cucunya dapat merasakan kemerdekaan yang sejatinya.
Tradisi perayaan kemerdekaan RI tahun ini, Hiruk-pikuk sambutan masyarakat pun menggelora. Aneka perlombaan ”khas Indonesia” yang menarik juga digelar di segala penjuru Tanah Air. Tradisi ini senantiasa dilakukan dengan penuh rasa sukacita. Kegembiraan ini menunjukkan salah satu variabel kecintaan dan rasa kebanggaan mereka sebagai bagian dari bangsa Indonesia.
Dalam ruang lingkup sederhana, gegap gempita penyambutan yang terjadi juga menjadi simbolisasi hadirnya rakyat dalam perayaan tersebut. Semua berbaur dalam satu pemikiran bersama tentang cara memperingati kemerdekaan dengan berbagai sudut pandang yang ada. di antara kemeriahan tradisi yang tergelar, terdapat satu kesepakatan yang harus menjadi renungan bersama. Renungan tersebut bermuara pada pemikiran bahwa Indonesia selalu tetap tegak berdiri sebagai negara yang memiliki banyak keberagaman.
Para pendiri bangsa telah mengikrarkan bahwa bentuk terbaik Indonesia adalah melalui semboyan Bhinneka Tunggal Ika dan Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa. Sampai saat ini, komitmen kebangsaan masih terpatri meski beberapa kali upaya penggantian ideologi bangsa itu pernah dilakukan. Upaya tersebut sampai kini masih terjadi. Beberapa pola dan cara yang dilakukan tentu berbeda. Ini adalah pengingatan bersama dan bukan untuk memberikan kecemasan bagi semuanya
Dunia yang serba digital kerap memberikan pemahaman yang salah bagi sebagian masyarakat. Segala berita yang tersaji melalui internet dianggap sebagai data yang benar. Ini yang harus terus diedukasi. Harus diakui bahwa saat ini digitalisasi informasi berkembang sangat cepat. Berbagai platform penyedia layanan berita berbasis teknologi informasi dan komunikasi sangat masif. Masivitas ini tentu membuat banyak manfaat. Keterbukaan informasi menjadi dunia yang baru. Kini tidak ada lagi berita yang dapat disembunyikan. Dengan kata lain, aksesabilitas masyarakat akan berbagai informasi menjadi sangat mudah.
Ironisnya, beberapa oknum menggunakan sarana tersebut sebagai penggiringan pemikiran untuk kepentingan pragmatis sesaat, misalnya untuk kepentingan elektoral. Bahkan, beberapa tahun lalu, otoritas keamanan di Indonesia menetapkan beberapa situs berita yang ternyata sengaja memproduksi berita hoaks. Konten yang disebarluaskan adalah berita yang secara vulgar dapat langsung ditelan karena memasuki area spiritual yang mendasar, yakni agama.
Jika edukasi masyarakat tentang ‘kebenaran’ informasi masih belum baik, kesenjangan akibat literasi yang rendah, berita palsu (hoaks) menjadi ancaman. Hal ini menunjukkan bahwa betapa setiap insan memiliki sentimen yang mudah dibakar jika berkaitan dengan kodrat manusia sebagai bangsa yang bertuhan. Apa pun agama mereka, jika Tuhan-nya diganggu, tentu adrenalin para pengikutnya gampang terpacu. Inilah yang harus terus dicerahkan agar setiap diri insan tidak mudah terprovokasi informasi yang tidak jelas, atau dimanfaatkan oknum masyarakat untuk kepentingan tertentu.
Saat ini, persiapan pesta demokrasi lima tahunan juga dimulai. Berbagai atribut calon anggota legislatif bersliweran di berbagai ruang publik. Program-progam para caleg tersebut terpampang. Uniknya, masih ada di antara mereka yang konsep programnya berada pada tataran persoalan yang sifatnya sangat pribadi, seperti ruang-ruang spiritual yang mestinya menjadi konsumsi sangat pribadi.
Diskursus hal seperti itu bukan zamannya, sudah saatnya paparan ide atau gagasan pemikiran berlian untuk Indonesia Emas yang ditonjolkan. Oleh karena itu, peringatan kemerdekaan Indonesia tahun ini harusmampu memberikan pesan heterogenitas yang lebih nyata.
Ini penting untuk didiskusikan karena tahun ini sudah memasuki tahun politik pada fase ini, setiap tim pemenangan seharusnya benar-benar membawa proposal gagasan dalam konsep kampanye yang dilakukan. Gambaran proyeksi hasil survei suara Bacalon dalam perspektif kabupaten maupun provinsi mestinya untuk konsumsi internal saja dan bukan untuk dipublikasikan.
Salah satu contoh bangsa hasil survei tentang Calon A menang telak di provinsi atau Kabupaten B sedangkan Calon C akan kalah di provinsi D hal yang kurang tepat. Meskipun itu dilakukan dalam rangka memetakan titik-titik, namun harus menjadi konsumsi tim sukses calon, sekali lagi, itu untuk konsumsi internal sehingga potensi pengkotak-kotakan akan diminimalisasi.
Jika ini diabaikan, bukan tidak mungkin ujungnya akan beririsan dengan tema yang membawa sentimen agama, suku, ras, atau golongan, yang mestinya sudah tidak lagi ditampilkan, hal tersebut cukup menjadi catatan sejarah yang boleh ditengok, tetapi tidak boleh lagi dilihat. Apalagi menjadi rujukan
Satu yang harus disadari bahwa dalam pesta demokrasi, termasuk pemilihan Calon Legeslatif, satu suara sangat menentukan nasib bangsa ke depan. ”Makelar” politik yang memanfaatkan homogenitas suara pemilih dengan garis ideologi politik tertentu akan tetap ada. Inilah yang harus disadari juga sebagai bagian dari heterogenitas Indonesia. Yang penting klan-klan suara ini tidak menjadikan warga bangsa lupa sejarah lahirnya Indonesia sebagai negara yang ber-Bhinneka Tunggal Ika.
Jika edukasi tentang keberagaman terus disuarakan, urusan pemakelaran menggaet suara dengan tema ”jadul” tersebut tentu akan berkurang. Bahkan, lambat laun akan hilang. Setiap insan harus betul-betul menyadari bahwa pilar kebangsaan adalah yang utama sehingga kecerdasan memilih dan memilah berita menjadi bekal yang sangat fundamental dalam mengikuti perkembangan dunia digital, misalnya melalui media sosial.